keyfind

keyfind

Senja Basah Yang Keruh


Senja basah yang keruh ketika peluh tidak hanya membasahi kain yang menutupi tubuh para buruh, tetapi juga menjadi minuman sehari-hari mereka yang membisu tak mampu melawan para benalu. Senja basah yang keruh dengan tudung hujan telah siap menghalangi pemandangan terindah ketika cahaya merah mulai terbentang di ufuk barat. Langit barat mulai redup, cahayanya tidak lagi membakar semangat jiwa yang tertanam dalam dada. Terlihat orang-orang munafik yang mengambil langkah berbondong-bondong pulang menuju kandang, menutup telinga, menarik selimut, dan menghiraukan panggilan Tuhannya. Habis sudah daya ini berkeluh kesah di tiap detik hidup orang lain. Semua pergi, kabur melarikan diri sebelum ikut larut menjadi elegi patah hati. Lelah memang, tetapi baik mungkin untuk mereka yang enyah dari wajah tanpa rasa bersalah. Waktu sembunyi kini telah habis. Terpaksa keluar mencari pecahan kaca untuk merobek sayap malaikat yang lemah tak kuasa menahan beban langit kabur dan usang. Amarah menerjang dan melawan kehendak Tuhan. Ketakutan akan azab sudah hilang dari akal. Beruringan sehari penuh hingga nikmat pergi menjauh dari genggaman menimbulkan aroma busuk di atas tanah tandus nan gersang. Bertanya-tanya siapa yang siap mati hari ini, namun ternyata mereka tahu akan datang hari itu dan segera menjahit bibir dan merusak gendang telinga mereka seraya berpikir tak akan ada lagi jawaban terlontar dari daksa tak berhati selesa.

Senja basah yang keruh, menutup pagi dengan deru angin dingin kala itu. Rinai hujan berhenti menyapu kasturi bumi yang tampak gundul dari hari ke hari. Dari kesendirian yang datang di waktu dini hampir tak dapat membedakan mana yang salah dan mana yang benar, mana yang bodoh dan mana yang pintar, mana yang baik dan mana yang buruk, dan berakhir pada kebimbangan akal yang kini beradu dengan jeritan hati yang tersakiti. Kemarin adalah hari penentuan. Jawaban tak datang sendirian, ia membawa sekawanan ragam rasa yang tak diharapkan masuk ke bagian paling dalam dimana tersimpan segudang asa dan impian. Pilihan hidup atau mati bersandar di kedua bahu menunggu sapuan tangan pada salah satunya. Sementara dilematik pilihan mengayunkan dentingan jam, tampak orang-orang menyerikan kebahagiaan atas keberhasilannya. Pulang dengan telapak setengah hampa, bersembunyi di balik selimut dingin berharap tak ada seorang pun yang tahu tentang keberadaannya. Beberapa hari terakhir ini bukanlah hari yang mudah untuk dilalui sendirian. Seekor anak angsa yang buruk rupanya membutuhkan teman untuk menjadi wadah duka yang meliputinya selama setahun penuh tanpa buaian kasih dari kerabat maupun induknya. Berjuang sendirian sejak menetas dari cangkang telur meninggalkan sepenggal kisah untuk anak cucunya. Lucu memang ketika jatuh tertimpa tangga. Tatapan sinis dari wajah yang terbuang menambah pilihan jua sembari membubuhkan ranjau kebencian bercerancang. Semangat hidup bersama nurani yang peduli menjadi tekang agar tidak runtuh. Semua yang terasa dalam satu waktu tidak begitu menyulitkan ketika datang uluran tangan demi menariknya dari lembah penuh misteri dan bersedia menggenggam harapan bersama kembali. Mereka yang haus akan keingintahuan terhadap hal pribadi ternyata belum lelah untuk menggali harta peninggalan yang tak berharga. Hanya bermodalkan dengan melihat bagian kulit terluar yang tampak dan beraroma busuk di kedalaman tanah masa lalu. Hahaha…. Sungguh menarik di saat harus saling mengejar di atas kebenaran yang belum terungkap tetapi berhenti di tengah perjalanan karena alasan diskontinu.

Apa dan mengapa??! Disini tidak ada objek mau pun subjek. Apa pun atau siapa pun dapat terjadi. Orang bijak bertubuh besar telah menyadarkan diri di tengah konflik batin yang berjerambai berangai. Menunggu waktu yang tepat untuk bergerak menuntaskan segala urusan yang menggantung di langit-langit kalbu.

Senja basah yang keruh, sekali dalam setahun kadang tampak kadang tidak. Keruh tak hanya timbul dari senja kala itu, tetapi juga timbul dalam kernyitan dahi yang mengaduk isi pangkal pikiran. Basah pun tidak hanya terasa pada senja kala itu, tetapi juga terasa dalam kemarau jiwa yang melanda kedamaian hidup belasan tahun. Sekalinya pahit, pahit sekali! Namun ketika ujung lidah ingin menikmati sedikitnya manis kehidupan, seketika hilang dari rasa yang diharapkan. Apa??! Apa yang kalian lihat? Hanya kemirisan hidup seseorangkah? Atau kebohongan yang dibuat oleh manusia yang melihatnyakah? Hmhm… :) bukan lagi hal asing ketika harus mengalami peristiwa di saat orang tak lagi percaya. Sangat disayangkan sekali ketika ada seseorang yang melihat dan menyimpulkan masalah hanya dari satu sisi atau… membenci tanpa alasan yang pasti. Hmmh… tak sabar rasanya menunggu waktu mengungkap semuanya dan pada saat itu pula akan didapati wajah-wajah penuh penyesalan. Tidak! Tidak berharap sama sekali agar hal itu dapat terjadi. Biarkan semua berjalan, mengalir, dan mengambang pada satu tujuannya masing-masing. Masih banyak alasan untuk orang berpaling dari masalahnya, mengisi lembar kehidupan yang masih menjadi pekerjaan rumah dengan beragam kisah yang tak pernah dimiliki orang lain. Selalu akan ada kejutan dari Tuhan ketika hamba-Nya rajin mensyukuri nikmat dari-Nya. Namun bersiaplah mendapatkan sambutan tak kerasan dari-Nya di saat kufur dalam nikmat-Nya.

Telah datang satu persatu dari mereka yang akan mengisi pekerjaan rumah selanjutnya. Tak ada yang buruk, tak ada yang sempurna. Semua sama seperti tabur bintang di pagi buta. Ada yang jauh ada pula yang dekat. Ada yang terang ada juga yang redup. Ada yang sendiri ada pula yang berkelompok membentuk pola indah di angkasa raya. Ada yang sombong dengan cahayanya ada juga yang malu bersembunyi di balik gumpalan awan berjarak jutaan tahun cahaya. Ada yang mematikan diri ada pula yang bertahan menerangi bumi. Semua menarik dengan ragam keunikan yang mereka miliki.

Strategi dan siasat harus segera di persiapkan untuk perang selanjutnya menghadapi ribuan manusia di hadapan senja basah yang keruh. Bersama Sang Raja yang ikut berperang menantikan prajurit terakhir yang akan dijadikan menantu idaman. Sebagian musuh dari kejauhan menjaga jarak dan mengantisipasi rakyatnya agar tidak jatuh dari kejayaan akan kecurangan dan kejahatan yang mewabah dunia. Musuh perang tak hanya sendiri, sekutu pun dikerahkan untuk menyelinap masuk dan mengadu domba para rakyat dan ksatria yang berakhir dengan lautan darah yang tertumpah antarsaudara. 
Hmmh… begitu mudahnya membuat kisah, tetapi tak semudah menjaga dusta dalam upaya. Biarlah… biar semua menilai. Penilaian dari orang kadang berharga untuk dijual pada diri sendiri. Lagipula kisah akan segera berakhir. Berpasang-pasang mata akan melihat dan merasakan akhir cerita dari seorang pria yang hidup sendiri melawan segala penyakitnya tanpa berharap ada orang yang mengasihani atau pun mengenangnya setelah ia mati.

Senja basah yang keruh, segala daya dan upaya menguap menjadi kepulan penat yang menyatu bersama debu terambang di udara. Percuma dan sia-sia bukanlah saatnya. Kini waktunya untuk berdiri dan mencoba kembali merebut benang merah, melupakan benang basah, dan menatap benang raja di senja basah yang keruh. Pelan-pelan dan hati-hati dalam melangkahkan kaki di tengah kerumunan orang yang hanya peka pada secercah pelita dalam kelegaman. Biarkan mereka yang mengawali kisah dengan kepercayaan pergi karena pengaruh setan gundul yang membisikkan racun kebencian. Basah jika bermain air, hangus bila bermain api. Tidak seperti binatang yang tahan malu, manusia lebih tahan dengan kias. Tidak akan pernah berhenti bagai hujan yang jatuh di atas hamparan pasir. Meski harus mengemis seperti Belanda yang meminta tanah, aur takkan pernah terpisahkan dari tebing meskipun harus menjelma jadi itik yang pulang petang hari. Lama berpikir, lebih baik berputih tulang daripada berputih mata. Namun tidak ada juga yang percaya bahwa tebu telah tertanam di bibir. Di sepanjang perjalanan anjing menyalak tiada menggigit. Pada awalnya menyangka panas akan sampai pada senja yang keruh, kiranya hujan tengah hari hingga petang menjemput. Mereka datang dengan menampakkan muka, tetapi pergi tak menampakkan punggung. Entahlah, sedalam apapun dalamnya samudera tetap dapat diukur. Beda halnya dengan hati walaupun dangkal tak ada mampu untuk manusia kira. Daripada hidup becermin bangkai lebih baik mati berkalang tanah sebelum arang habis dan besi binasa. Tak sempat mengira gabak di hulu tanda akan hujan, mulai terasa cewang di langit tanda akan panas. Sepasang lidah tiada bertulang bermanis tutur dalam berucap di wajah tak peduli kepala sama berbulu walau lain akan pendapat. Tergambar di balik sekat serigala bertopeng rusa yang tak melihat gajah bertengger di pelupuk mata, hanya tampak baginya seekor kutu di seberang lautan menari-nari merayakan kebebasan. Tak bermaksud sama sekali untuk meninggikan tempat jatuh piringan kaca, hanya saja berusaha berulam jantung dari hati yang termakan demi membangkitkan batang terpendam. Keharusan mencabik baju di dada menjadi beban di saat nasi terasa sekam ketika dimakan dan air terasa duri ketika diminum. Mereka yang sebelumnya mampu menjadi obat jerih pelerai demam kini berubah menjadi musang berbulu ayam. Apakah ini maksud dari sekerat ular? Apakah ini yang dimaksud dengan sekerat belut? Persetan kata mereka yang berhati gelap tak kenal maaf. Dahulu kami selapik seketiduran, sebantal sekalang hulu, namun kini hanya seperti barisan bait berisi syair "butiran debu"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar