keyfind

keyfind

Paksa Hingga Mati


Mengapa harus dipaksa ketika akal dan mimpi yang terpisah tak lagi dapat menyatu? Seperti dihadapkan tembok besar yang tidak terjangkau oleh apa pun. Rasa seperti dipenjara bersama hewan buas juga ada ketika itu. Sesekali ingin meloncat dari tepian air terjun. Ingin mati rasanya ketika tenggelam dalam sungai yang mengalir deras dan tak mampu menyembulkan kepala ke atas permukaan untuk mengambil napas. Harapan untuk hidup semakin kecil, sedangkan tak ada seorang pun yang melihat. Siapa peduli? Tidak ada. Apa sebenarnya yang ditunggu?! Apakah kepuasan hanya akan didapat ketika kegagalan kembali menghampiri? Oh… atau mungkin dengan menunggu kematian baru akan mencapai puncak sadarnya? Mohon, jangan berikan sepotong harapan berbalut senyum kemunafikan. Lebih baik berikan suntikan racun dan tancapkan tepat di nadi agar cepat mati. Sampai kapan ini akan berlangsung? Di samping kesendirian berebut janji yang tercerih. 

Paksa saja hingga mati. Lagipula tubuh ini terlalu kuat untuk menahan perih dan pedihnya hidup yang mereka beri. Otak yang mereka miliki hanya menjadikan mereka seberkas perhiasan yang terpampang tinggi di dalam bingkai yang asri. Belas kasih yang mereka miliki bukan untuk seorang anak yang di adopsi sejak ayahnya pergi. Apalah arti anak semang, tak jauh berbeda dengan cerita dongeng sebelum tidur. Kehalusan kisah tak mampu mendustai hati yang tersakiti. Rasa yang tersisa menyelinap dalam kejahatan, mencoba untuk berunjuk rasa di hadapan orang-orang yang kenyang akan jabatan. Memang sia-sia pada akhirnya, tak ada kejelasan yang menunjukkan buah siap petik esok hari. Kepalsuan menyertai kalbi yang terbungkus kabut lestari. Reruntuhan asa menyapu bersih bangunan mimpi yang belasan tahun berdiri tanpa ada yang peduli. Sampai kapan ini akan berhenti? Pertanyaan semacam sampah takkan ada arti karena mereka semua tuli. Tak ada setitik pun kebaikan pikir mereka. Hanya dan selalu hanya ada setumpuk keburukan yang ditujukan dengan cara yang tidak mengenakkan. Kasar di telinga itu memang fakta, tetapi apa mereka dengar pendapat bocah yang sakit tertancap duri derita? Tidak! Mesin kendali yang mereka pasang di balik punggung telah merusak segalanya. Jika memang berawal tanpa niat, lebih baik biarkan diri terlepas menuju bangunan panti sejak dini. Tuhan memberikan skenario yang baik rupanya. Memberi kasih dan sayang-Nya melalui kehidupan yang tak mudah untuk dilalui. Semua telah tertulis dalam buku-Nya. Pertanyaan untuk-Nya tak pernah berhenti mengalir dalam hati, jiwa, dan pikiran yang keruh akan dosa yang melimpah ruah. Berharap ikhlas dan sabar tertanam dalam jiwa. Juga senantiasa memohon ampun dengan sangat pada-Nya setelah melakukan kesalahan yang sama untuk yang ke sekian kalinya. Betapa rapuhnya iman dan bodohnya diri ini."Ya Allah... bimbinglah diri ini menuju jalan yang penuh dengan kebenaran-Mu. Turunkanlah hidayah-Mu pada diri yang berlumuran akan dosa ini. Tolonglah hamba-Mu ini yang hampir tenggelam di antara jebakan setan. Ya Allah... Tunjukkanlah keagungan-Mu dengan mengembalikanku ke jalan dimana aku dapat menemui kebahagiaan dunia dan akhirat. Janganlah Engkau jadikanku manusia yang tak pandai mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan. Ya Allah... Kering sudah air mata ini, buta hati ini, rusak jiwa ini, dan lemah tubuh ini yang sering kali mengulangi kesalahannya di hadapan-Mu. Berikanlah hamba-Mu ini kesempatan untuk membahagiakan orang tua yang tinggal satu. Ya Allah... Cintai dan sayangilah kami...". Dan berdoa pun takkan pernah selsai.

Memang, ini membuang waktu yang cukup lama karena terlalu banyak pertimbangan bagi orang beranjak pintar untuk meciptakan sebuah kesempurnaan atau segala sesuatu yang harus berjalan dengan benar sebelum sebuah pernyataan berhenti dan terlontar dari hati—tidak perlu sebuah gerakan atau tindakan yang tidak perlu untuk menyatakan sesuatu, cukup dengan hati yang mewakili itu semua jika hanya dinyatakan pada diri sendiri. Namun, kini semua itu tidak lagi ada, kesempurnaan itu telah rapuh terkikis oleh emosi yang berkembang. Pikiran mulai beralih ke dalam secarik kertas. Kemudian dituangkannya seluruh kemampuan aksara dari benak yang telah lama tertahan dengan hati-hati dan penuh perhatian jika nanti ada sebuah atau lebih kata yang sumbang di dalamnya. Tidak lagi berpikir tentang kesempurnaan, terlalu klise dan banyak orang di luar sana yang mengatakan bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini, tepat jenuh ketika mendengarnya. Dan pada akhirnya menghiraukan dan melupakan apa yang dapat dikatakan sebagai menciptakan sebuah kesempurnaan. Bukanlah seorang penulis andal yang mampu memikat dengan kumpulan kata yang menipu dan penuh kira, juga bukan pujangga kaya raya yang mampu menarik hati para penggemar dengan ucapan yang memesona, hanyalah manusia kerdil yang keberadaanya tidak  dianggap oleh siapa-siapa. Kali ini tidak akan bicara mengenai alasan, tidak akan bicara dalam bentuk rayuan, dan tidak juga berbicara hanya untuk mengalihkan perasaan. Namun, hanya akan berbicara tentang fakta dan kemungkinan. Satu lagi, bicara mengenai hal apapun yang terjadi sekarang, bukan pada masa lalu. Masa lalu ada hanya untuk dipelajari, tetapi bukan untuk dikenang. Kenangan manis mungkin dengan perlahan akan memunculkan senyuman rindu di wajah mungil seorang gadis kecil, tetapi bagaimana jika itu kenangan pahit? Seperti akan terasa pada saat membuka kembali jahitan yang membekas pada luka lama. 


Kembali pada benang merah, semua terasa berat memikul sendiri beban hidup yang penuh dengan tantangan. Tidak mudah menumbangkan kekokohan pendirian manusia angkuh berfondasikan kesombongan. Hujan air mata tak pernah tampak di balik jendela yang terbasahi embun senja yang dingin kala itu. Tidak ada yang melihat, semua mata terarah pada kemelut sibuknya mencahari materi. Siapa peduli? Tidak ada. Tengkuk semakin hari semakin retak siap patah. Otak yang semula berlipat kali ini melukis nestapa bertajuk warna derita. Beralih pandang kepada tujuan kurang mampu memberikan kekuatan untuk berdiri meraih militan. Arti kehidupan menjadi hilang akan cahayanya yang semakin redup. Dingin dan mati rasa ketika ruang semakin meluas dan waktu semakin cepat berlari mengejar. Terengah-engah napasnya memburu kepanikan yang luar biasa dan tak pernah terjadi sebelumnya. Sejak mentari memunculkan senyum hangatnya hingga terhalangi tadah air kelabu yang dapat dilakukannya hanyalah terdiam memandang diri di depan cemin, berbicara dalam hati, memunculkan berjuta-juta pertanyaan, dan menyaru jadi jaharu. Kehendak hati bukan lagi pilihan nurani karena rayuan iblis kian mendekat dan terdengar bisiknya hingga menembus jantung kehidupan dan menguasai kendali tubuh manusia yang berjalan dengan arogansi.

Gundah, gusar, resah, gelisah, galau, risau, waswas, dan cemas, semua bercampur aduk tak merata dalam akal yang kemudian turun ke hati. Terapung sudah sebongkah mimpi yang lama tersimpan, terseret, dan hanyut dalam aliran tenang sungai bersama beranta. Menunggu dan berharap ada yang memungutnya untuk dijadikan hiasan dinding kastel di muka ruangan utama dalam bangunan megah nan indah. Rupanya hanya mimpi belaka, menunggu hanya menghabiskan waktu dan membuat hidup menjadi lebih singkat. Namun, bergerak tanpa arah dan tujuan juga hanya menuntun kepada jalan yang gelap dan berujung pada kebuntuan. Lalu apa? Tanya tak pernah bisa padamkan panasnya api kebencian akan masa di mana langit merendahkan dirinya sendiri di hadapan bumi yang menjadi dasarnya. Masa yang sulit bagi seorang bocah lelaki sebatang kara yang berjuang sendirian memperjuangkan haknya dalam menentukan cita-cita yang tak pernah diubahnya sejak kecil. Ketika dirinya mencoba mendaki tebing impian dan berusaha menyentuh langit, ia tertahan oleh gejolak hati yang membuncahkannya ke dalam dunia tanpa waktu. Seketika jantung berhenti berdegup, nyawa penuh dosa melayang jauh ke alam di mana Tuhan menanti. Tidak ada penyesalan, tidak ada korban, kepuasan pun tak ada. Semua berlalu seperti embusan angin yang menceraikan daun dari dahannya.


Berat penuh sesak ketika harus berjalan menyusuri jembatan rapuh tergerogoti rayap yang kelaparan akan matinya angan. Disana menanti malaikat yang menatap tajam dan terbang menjauh meninggalkan seberkas harapan tertahan aspiran. Bergetar pangkal kaki menopang tubuh kerdil yang lemah tanpa nyawa tersisa. Kasarnya melangkah di bawah naungan induk semu tak pernah sesekali berkeluh kesah di wajah. Berperangai sepolos bentangan langit tanpa awan menampakkan kekakuan tak mengubah kebutaan hati para tuan. Bingung mencari sandaran, mawar pun melayu ketika berlalu. Gadis dengan paras manis di seberang sana mungkin membantu. Namun, apa dia rela berbagi dengan seorang pria babu? Yang terlihat melekat menjadi benalu berselumu. Sulit menerka dari kejauhan, ditinggalkannya menuju pematang jalan yang mengarah pada hunian orang. Berjalan dengan kaki beralas ampas kertas menaruh bundas. Siapa peduli? Tidak ada. Berharap gadis seberang yang dingin bertatapkan belas kasih yang tulus datang sembuhkan luka dalam yang membekas dengan gurat panjang melintang. Senyum tipis yang tampak enggan itu menunjukkan hati yang tersembunyi di balik emosi. Seraya menggigit bibir menahan sakit, rasa penasaran timbul akan isi hati yang terhalang kelambu kalbu. Pernah terlintas sesekali coba membantu untuk melepas beban yang tertopang di bahunya. Akan tetapi, inginkah dirinya kenal dengan orang asing yang baru dikenalnya seumur jagung? Ah! Dengan cepat tersadar akan diri yang tak mampu mengurus diri sendiri saat suci berhenti singgah di hati. Entahlah… ketika itu tanpa urat malu langsung tanyanya dengan serak tentang apa yang dirasa. Kabur berkelimpungan tampak di wajahnya serasa enggan ‘tuk berungkap. Tiada paksa baginya berbagi rasa dengan perasa. Sekilas pandang dirinya tergambar lukis cermin diri yang langka di bumi. Tak banyak peduli mengenai rusaknya tulisan yang terpampang pada dinding maya. Semua ada karena tercipta rasa berbaur sketsa berujung cinta. Hah! Tahu apa tentang cinta, kenal diri saja buta. 


Kembali pada layar kaca atau panggung drama. Menonton acara atau pertunjukan bertema nelangsa. Orang-orang bertanya-tanya kapan penderitaan anak itu berhenti dibawah siksa kakak tirinya. Para penonton telah mematikan kotak bergambarnya dan telah pulang menuju rumahnya masing-masing, sedang sang sutradara tak menghentikan durasi, membiarkan anak tiri terus tersiksa dan ingin tahu sampai dimana ia akan bertahan menahan perih. Dengan luka yang membekas dimana-mana si anak tiri tergopoh-tergopoh menanggung sakit. Di tengah sakitnya ia bersembunyi dengan latar senyum paksa. Beralih mimpi jadi gelandang jalan yang suram durjasa. Sampai ketika senja berganti malam, ketika orang-orang mulai terbang ke dunia mimpinya, ketika bintang tak terhalang polutan, dan ketika lampu taman menunggu azan, gadis tadi datang lagi dengan wajah tertunduk berhias malu. Dengan suara sunyi khawatir pemukim terbangun, ia mencurahkan isi hati yang tumpah melalui air matanya. Ingin rasanya meminjamkan bahu yang rendah ini, tetapi apakah dia mau? Malu mungkin. Kemudian berikannya selembar kain lusuh yang seharusnya digunakan untuk membersihkan luka cambuk yang ia dera. Siapa peduli? Tidak ada. Hanya tak kuasa menahan iba saat melihat gadis yang menumpahkan tenaga dan waktunya hanya untuk masa lalu yang pasti tak dapat kembali. Susah payah meninggikan bahu untuk dijadikan sandarannya, tetapi sia-sia. Tubuhnya yang semampai tidak pernah cocok dengan manusia kerdil yang penuh dengan kekurangan dan kecacatan. Walaupun begitu, si kerdil tetap setia pada gadis yang sering kali mengalah pada kecurangan hidupnya. Dan menjadikannya sahabat sehidup semati hingga indah pada akhirnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar