Kemudian Ken berkata,”Sekalipun dalam beberapa waktu terakhir hidupku, aku pernah melakoni sebuah peran dalam sebuah drama teater sederhana dimana diriku menjadi tokoh utama disana, aku tetap tidak bisa menjadi seorang aktor yang baik, apalagi yang benar. Karena yang baik itu tidak akan dihasilkan dari sesuatu yang berjalan secara tidak benar. Kalaupun sudah terasa benar tetapi tidak menghasilkan yang baik itu hanya pertanda ketidakberuntungan saja. Apa maksudnya? hmhm... *senyum tipis*, tidak tahu pun tak apa, anggap saja ini hanya sebuah peristiwa ketika sebutir telur semut terjatuh di tengah koloninya yang sedang bekerja membangun istana untuk seekor Sang Ratu Semut yang siap dibuahi oleh para Sang Pembuah. Sudahlah... jangan terlalu dipikirkan mengenai hal ini sampai harus mengernyitkan dahi. Hanya ada dua opsi, nikmati seperti menikmati es krim durian di tengah musim panas atau... kunyah perlahan lalu muntahkan ke dalam pembuangan. Sesungguhnya tidak ada inti dalam apa yang sedang dibicarakan ini. Jikapun ada itu adalah sebuah simpulan yang dibuat sendiri. Aku hanya ingin meluangkan waktu sebentar untuk kemudian aku buang secara tidak sia-sia. Bagaimana bisa dikatakan sia-sia jika interaksi yang kulakukan bersama dengan orang-orang tersayang. Entah apa yang sedang kupikirkan sekarang. Namun, jika aku menolehkan kepalaku sedikit saja keluar jendela, disana tak ada lagi bayangan sinar bulan yang terbias di atas permukaan laut yang masih terjaga karena kehilangan temannya seraya mengayunkan ombak-ombak kecil ke bibir pantai sehingga menimbulkan deburan air yang berbuih lalu tersapu kembali menuju punggung pantai. Ternyata Bulan tengah menikmati kesombongan pancaran sinarnya bersama awan gelap yang menutupi bintang beserta teman-temannya disaat cahaya bumi sedang menghilang dan berusaha mengerti mereka yang seharusnya pada kala itu adalah saat dimana penduduk dapat menikmati dan menadaburi keelokan alam Sang Pencipta. Sembari menurunkan sedikit kelopak mata dan membungkukkan badan, diriku kembali turun dari panggung pertunjukan yang mulai tertutup oleh tirai beludru besar dan bewarna merah darah. Bersamaan dengan itu aku pun terus menjalankan peran yang sama ketika di panggung dan kembali sembunyi di balik kemunafikan diri. Sama seperti apa yang telah dipikirkan pada awal waktu, ini tidak semudah yang kuduga. Entah akan jadi musuh, entah menjadi teman hidup selamanya nanti. Tidak ada yang bisa memberikanku kepastian. Kemarin layaknya nasi yang telah menjadi bubur, besok seperti nasi yang akan basi, dan hari ini adalah nasi utuh yang entah akan dijadikan apa. Nasi Goreng 'kah? atau... Nasi Uduk? hmmh... keduanya adalah makanan favoritku. hahaha... Sekarang kamu adalah seorang penonton yang menunggu pertunjukan selesai lalu memberikan penilaian berupa apa pun baik itu sebuah kritikan pedas maupun pujian manis untuk sebuah suguhan ringan dan singkat dari gelandangan seni yang miskin akan ilmu akademik, yaitu aku”.
Yang terlihat dan terdengar tidak selalu sama pada nyatanya, sebelumnya pernah sesekali “kami” singgung tentang ini. Hal yang menurut mereka berlebihan hanyalah bumbu penyedap suasana yang diselimuti tebalnya kepenatan di tengah tumpukan tugas dan tantangan. Maaf jika cara “kami” tidak membuat nyaman diri Anda, “kami” tidak akan bersikap terlalu jauh seperti yang Anda pikirkan. Lagipula tidak hanya Ken yang selalu tampak pada diri “kami”, masih ada Kevin, Killen, dan Kinda. Kapan pun waktunya salah satu dari diri “kami” hadir dalam beberapa kesempatan. “kami” yang menentukan kapan “kami” harus bergiliran. Tidak mudah, tetapi ini tantangan yang harus “kami” lewati sampai salah satu dari kami menjadi pemenangnya. “kami” tidak pernah memaksa orang lain untuk berteman dengan “kami” yang apa adanya seperti ini. Memang tidak sepenuhnya tampak baik, semesta memiliki penilaiannya sendiri terhadap diri “kami”. Dan “kami” tidak pernah keberatan menerima segala bentuk penilaiannya seperti apa. Yang “kami” lakukan hanya memberikan kesempatan pada orang lain untuk belajar mengerti dan memahami serta menerima orang lain apa adanya beserta ketidaksempurnaannya. Lagipula tak selamanya orang itu sama, ada saatnya seseorang berubah entah menjadi lebih baik entah sebaliknya. Namun, apa pun itu “kami” selalu ingin memberikan yang terbaik untuk siapa pun walaupun nilai yang “kami” berikan tidak selalu terlihat seperti yang didambakan. Kekurangan yang tampak dari diri seseorang akan jauh lebih indah ketika dipandang menjadi sebuah keunikan. Dan menariknya dari keunikan itu akan menjadikan kita sesuatu yang hanya didapati satu dari seribu.
Menariknya,”kami”
diciptakan berbeda. Lihatlah Kevin, setiap hari pekerjaannya hanya memikirkan
sesuatu yang tak tentu. Entah apa yang dipikirkannya, terlalu sepi jika berada
di dekatnya. Diam… merenung… menyendiri… tertutup… sangat sulit untuk disentuh.
Ia menyembunyikan perasaannya sendiri tanpa peduli “kami” ada di sekitarnya.
Sabarkah dia? Entahlah, dia hanya cenderung pasrah akan segala sesuatu. Ia
mudah menerima segalanya walaupun itu sakit baginya. Bersama senyum tipis
andalannya ia berinteraksi dengan “kami”. Cepat murung ketika musibah yang
menyesakkan dada menimpanya. Beruntung ada Ken yang selalu mengalihkan kemurungannya
pada kesenangan sementara. Karena akan berbahaya jika perasaan buruknya itu terus
melanda di, sedangkan “kami” terus berusaha untuk bangkit dan mengubah keadaan
secara emosional. Lelah? Tidak, kami menikmatinya dengan sangat. Ini sama
seperti sebuah permainan ular tangga tanpa finish yang dimainkan oleh sejumlah
bocah berkekuatan super bagi “kami”. Tidak perlu susah-susah mencari pemenang di
antara “kami”, karena kami semua adalah pemenang yang tidak sedang mencari jati
dirinya seperti kebanyakan remaja yang labil. Peran yang “kami” bawakan tidak
pernah dimaksudkan untuk menunjukkan keanehan, kebodohan, atau keberlebihan “kami”
dalam bersikap. Semua tindakan “kami” adalah murni apa adanya tanpa rekayasa.
Memang sulit dipercaya dan terlihat konyol, tetapi itu tak membuat “kami”
lantas memaksa siapa pun untuk percaya.
Dan berhati-hatilah dengan
Killen. Dia lebih tak banyak bersuara dibanding Kevin. Seperti sengaja ia
berlaku seperti itu untuk memendam emosi binalnya dan ketika telah sampai
puncak ia ledakan dalam amarah dingin yang membunuh lawannya. Dia hanya akan
mengambil alih jika keadaannya benar-benar terdesak dan tertekan. Muncul dari
bayangan sudut ruang secara tiba-tiba ketika geram menghampiri tanpa peduli
perasaan orang yang disakiti. Langkahnya sangat hati-hati, bahkan tak bersuara
seperti pembunuh profesional yang bekerja sebagai pembunuh bayaran di malam
hari. “kami” sangat jarang berinteraksi sebelum ia berkomentar dengan tajam
dengan ancang-ancang pedang yang siap hunus. Cara bicaranya yang singkat dan
menusuk adalah ciri khasnya bersamaan dengan senyum jahat yang mengesalkan
walau hanya ketika mendengarkannya saja. Ia penuh dengan dengan temperamen,
mudah tersinggung dan mudah marah, beruntung ia enggan muncul dalam keadaan
biasa. Tenang, tetapi menghanyutkan. Itu letak bahaya dan kesan yang tampak yang
dimilikinya saat pertama ia datang. Memulai kekacauan dengan sindiran halus
yang menyakitkan ketika baginya ada hal yang tidak membuatnya menjadi nyaman. Kasihan,
dia hidup terlalu lama dalam kesedihan dan larut terlalu dalam pada ketakutan. Hal
itu yang membuatnya menjadi pribadi yang misterius dan sulit ditebak. Menyelesaikan
masalah dengan diam-diam dan melengkapi kerumpangan pada kekosongan. Sesungguhnya
ia bisa menikmati sebuah kesenangan di saat “kami” tengah bersama. Namun, ia
melakukan pemikiran yang berulang karena khawatir dirinya tak mampu
menyeimbangi “kami” yang sangat bertolak belakang dengannya. Tak apa,”kami”
tidak memaksa,”kami” berjalan dengan luwes dan santai dan tak akan terpisah
sampai kapan pun.
Dan kini adalah Kinda, tanpanya
“kami” takkan terkendali. Dia pemimpin bagi “kami”, sesosok manusia yang paling
dewasa di antara “kami”. Mampu melerai saat keadaan menjadi rumit dan berusaha
untuk menyelesaikan masalah dengan caranya yang persuasif. Pembawaannya cukup
tenang dan menyejukkan, tidak menghanyutkan seperti Killen. Dengan cara
bicaranya yang tampak seperti orang dewasa membuat “kami” segan di hadapannya. Tidak
hanya menyelesaikan masalah internal, tetapi juga dia senang membantu
teman-temannya yang membutuhkan bantuan darinya dalam menyelesaikan masalah. Dalam
hal menulis, ia adalah otak dari semuanya. Hobinya yang terkadang menyita
banyak waktu itu memang telah digelutinya sejak “kami” bersahabat dengan guru
sastra yang mengubah dunia “kami” setelah menjadi korban kerasnya dunia. Akan tetapi,
tidak ada kata jenuh bagi “kami” melihatnya menorehkan karya ringan dalam hidup
“kami” yang hambar. Pemikirannya yang kritis kadang mengganggunya di saat ada
pendapat yang berlainan dengan pendapatnya. Dari sana ia banyak melahirkan pemikiran-pemikiran
baru yang terkadang tidak “kami” mengerti berdasarkan keadaan yang sedang
maupun telah “kami” lalui. Kehangatannya selalu menyertai “kami” dalam keadaan
suka maupun duka. Dirinya selalu tidak ingin membuat “kami” merasa sulit dengan
beban yang dipikulnya. Dia sering kali mengalah dengan “kami” yang berlomba
dalam mempertahankan ego yang meluap-luap. Itulah “kami”, berbeda dan saling
melengkapi. Tidak ada salahnya mengelompokkan bagian dari diri “kami” menjadi
beberapa bagian dan menjadikan itu sebagai keapikan diri yang lebih tertata dalam
hidup yang demikian berantakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar