Dengan wajah lusuh separuh nyawa
Beranjaknya dari tenda derita
Berjalan menuju muka beranda
Menatap kosong di balik jendela
Dirinya tiba
Menengadah dan menarik rendah napasnya
Inginnya berucap, tapi sulit tuk diungkap
Hanya decak dan jantung berdengap
Berbisiknya dalam hati,
Telah lama dinanti saat ini
Menatap lukisan alam tak bertepi penuh arti
Hanya saat seperti ini
Sandarnya beralas permadani
Menikmati awan kelabu selimut batari
Selapis gerimis tipis basahi bumi
Berteman harmoni embun pagi alami
Berembus angin tak terarah
Membelai lembut latar bendesa
Sejuknya mematikan rasa
Melepas segala beban dan amarah
Tenangkan jiwa yang resah gelisah
Sapukan emosi sesakkan dada
Malas ia beranjak dari sana
Di atas padang hijau bersaji butala
Meringkuk dengar bisik halus memanja
Gemeresik rerumputan lemah berduka
Lantas menekan dalam hati
Dirinya bukan cerminan manusia dengan satu emosi
Dirinya bukan manusia dengan pribadi yang basi
Yang hanya mendamba kesenangan semata,
Menjangkau kehidupan dalam realita,
Selalu memilih satu yang terkuat di antaranya,
Tak mampu memilah yang terbaik dari kumpulannya,
Begitu mudah terima dengan tangan terbuka,
Yang menjadikan mereka manusia durjana.
Dan dia berkata...
Kami terjebak dalam satu raga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar