Di
malam tahun baru umat muslim, kelemahan manusia atas nafsu menjerumuskan mereka
pada lingkaran setan yang membentang dalam kerentanan jiwa yang telah teracuni.
Ini bukanlah sebuah kehendak yang terencana sebelumnya. Semua berjalan dan
berlalu begitu saja tanpa adanya kendali yang pasti. Di sisi lain mereka
mengetahui seharusnya bukan itu yang dilakukan mereka di malam yang penuh
dengan renungan atas segala dosa yang bertahun tahun telah sekumpulan orang itu
lakukan baik sadar maupun tidak. Masa mereka kini adalah masa yang tepat untuk
mempersiapkan diri menuju pertaubatan dan kedewasaan. Di samping itu mereka
menyadari akan sikapnya yang menunjukkan bahwa diri mereka sama sekali belum
siap menerima predikat sebagai "manusia" yang sesungguhnya, bahkan
ketika dalam masa persiapannya sekali pun. Sangat sering orang-orang itu
dikalahkan oleh pola pikir negatif remaja yang menyakiti emosi dan merusak
sugesti positif yang lama tertanam dalam alam bawah sadar.
Perlahan
mereka sadar dan merasa gagal sebagai umat Rasulullah SAW, juga sebagai hamba
Allah SWT. Pengabdian mereka pada Yang Maha Esa tak pernah dijalankan dengan
baik dan benar. Implementasi atas amalan baik rasul dan pemimpinnya sangat
jarang mereka laksanakan. Padahal mereka tahu semua itu adalah hal yang akan
menyelamatkan mereka di hari dimana dunia akan lenyap seketika setelah tiupan
terakhir sangkakala Israfil a.s . Pada saat itu pulalah manusia-manusia yang
tamak akan kesenangan duniawi merasa seperti seekor keledai yang memanggul
segudang buku di atas punggungnya. Hidup seperti mayat yang bertubuh kaku tak
sadarkan diri di antara makhluk berotak yang semakin hari semakin menuhankan
akalnya. Ketidaktahuan mereka akan berapa lama diri mereka menjalani hidup seperti
itu membuat mereka tampak lebih tak berguna lagi berdiri layaknya manusia yang
normal. Namun, bukan berarti mereka bosan menjalani hidup dan berusaha menjadi orang
gila yang tidak memiliki hutang dalam hidupnya.
Kegagalan
dalam meraih kesuksesan dunia bukanlah hal yang seharusnya dicemaskan. Akan tetapi, adalah kegagalan dalam hal lain yang membuat umat terdiam
kecemasan, yaitu kegagalan dalam memimpin dirinya sendiri. Bukan berandai, melainkan jika memang gagal dalam memimpin diri sendiri, dengan tanpa sengaja
pun manusia akan gagal menggenggam dunia dan menggapai kebahagiaan yang
sebenarnya. Setiap manusia memiliki kemampuan dan potensi untuk menjadi seorang
pemimpin. Hal yang paling utama dan mayoritas diketahui oleh khalayak umum
sebelum seseorang turun ke medan perang untuk memimpin dunia adalah siapa pun
harus mampu memimpin dirinya sendiri. Dan inilah yang membuat mereka merasa
terhambat di balik cita cita yang terangkai dan telah menggunung bersama kawan
kawan seperjuangan mereka. Dan beruntunglah mereka rasanya ketika berada di
antara teman teman yang memiliki satu tujuan, bersikap kritis, memiliki
semangat juang yang tinggi, dan ada pula yang senantiasa mengingatkan mereka
akan pentingnya meningkatkan ketauhidan pada Yang Maha Kuasa.
Entah
bagaimana cara mereka memperjuangkan diri untuk bebas dari kesalahan dan
keburukan walaupun tidak sedikit orang tahu benar bahwa manusia adalah tempat
yang sangat sering disinggahi oleh kesalahan. Hidup mereka terasa tidak tenang
ketika berdiam diri menatap para setan yang menduduki singgasana kemenangannya
atas kekalahan manusia. Namun di sisi lain mereka merasa lemah dan tak berdaya,
jauh dari Sang Khalik, buta akan jalan kebenaran, melangkah tanpa arah yang
jelas, dan terkekang oleh kebinalan jiwa yang sampai detik ini belum juga mampu
dikendalikan sepenuhnya. Manusia manusia awam itu mengerti bahwa bukanlah hal
aneh lagi jika merasakan kehausan akan pembimbing. Kesadarannya akan pembimbing
yang selalu ada di sisi mereka belum juga membuat hati tergerak untuk
berkonsisten menjalankan kewajiban pada-Nya. Sungguh di luar perkiraan. Sadar
tetapi tidak berhasrat untuk bergerak. Manusia macam apa mereka itu? Sebenarnya,
bukan kekurangan dan kecacatan dalam diri mereka yang ingin ditunjukkan pada
dunia. Akan tetapi, tanda tanya besar yang melanda jiwa, emosi, dan pikiran
yang tenggelam dalam gelapnya dasar lautan dosa.
Sekelompok
orang itu tidak pernah tahu sampai kapan mereka akan terus seperti itu, menjadi
budak setan dan tertipu daya oleh kebejatan para iblis yang mengetahui
kelemahan fatal pada diri mereka. Setiap embusan napas beriring niat yang tak
sempurna membuat setan yang membelenggu sebagian sisi hidup mereka semakin
bersemangat dan bekerja keras untuk senantiasa mengundang orang orang lemah itu
dalam permainan iblis yang menyediakan jalan menuju surga fana yang penuh
dengan kecurangan dan kejahatan, mengekor pada kebengisan, menderita tanpa
kesadaran, bergelut dengan waktu yang sia sia mengenaskan, bermain dengan
manusia murahan, berhambur ria dengan harta kekayaan, acuh pada anak anak yang
sengaja ditelantarkan, telah membeku pada akar pikiran manusia buta yang
berpuasa mengais pahala.
Hingga
pada saat waktunya mereka merasakan penyesalan, semua menjadi terlambat
dan sia sia. Para penjilat liar yang berhasil merobohkan dinding keimanan
akhirnya tertawa puas dan lepas ketika samudera manusia tidak lagi hanya
menjadi sekadar sekumpulan umat yang lalai bersama tugas-tugasnya, tetapi juga
menjadi hamparan dosa tak terhingga. Kini hanya tersisa segelintir pejuang yang
mau dan mampu mempertahankan mimpi indahnya, pendiriannya, kecukupunnya,
penderitaannya, dan rasa cintanya pada kerigiliusan dirinya. Perbuatan yang
benar dan buruk adalah dua buah pilihan yang sama sekali tidak dipaksakan bagi
siapa pun. Namun pada akhirnya, perbuatan itu akan mencerminkan dirinya sendiri
dan akan menghantarkan pilihannya kepada dua pilihan lain, yaitu hidup tenang
dan bahagia selamanya atau tersiksa bersama bidadari neraka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar